BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Dukungan
Keluarga
2.1.1.
Pengertian
Dukungan
sosial keluarga adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang
diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu
bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai, dan mencintainya (Cohen
& Syme, 1996) dalam Setiadi (2008).
Dukungan
sosial keluarga adalah sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan
lingkungan sosial (Friedman, 1998) dalam Setiadi (2008).
Dalam
semua tahap, dukungan sosial keluarga menjadikan keluarga mampu berfungsi
dengan berbagai kepandaian dan akal, sehingga akan meningkatkan kesehatan dan
adaptasi mereka dalam kehidupan (Setiadi, 2008).
Studi-studi
tentang dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sosial sebagai koping
keluarga, baik dukungan-dukungan yang bersifat eksternal maupun internal
terbukti sangat bermanfaat. Dukungan sosial keluarga eksternal antara lain
sahabat, pekerjaan, tetangga, sekolah, keluarga besar, kelompok sosial,
kelompok rekreasi, tempat ibadah, praktisi kesehatan. Dukungan sosial keluarga
internal antara lain dukungan dari suami atau istri, dari saudara kandung, atau
dukungan dari anak (Friedman, 1998) dalam Setiadi (2008).
2.1.2
Jenis Dukungan Keluarga
Friedman
(1998) dalam Setiadi (2008) menjelaskan bahwa keluarga memiliki 4 jenis
dukungan, yaitu :
1.
Dukungan informasional
Keluarga berfungsi sebagai kolektor
dan disseminator (penyebar informasi)
tentang dunia yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah. Manfaat
dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stresssor karena
informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada
individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasihat, usulan, saran,
petunjuk, dan pemberian informasi.
2.
Dukungan penilaian (appraisal)
Keluarga bertindak sebagai sebuah
bimbingan umpan balik, membimbing, dan menengahi masalah serta sebagai sumber
validator identitas anggota keluarga, diantaranya : memberikan support,
pengakuan, penghargaan dan perhatian.
3.
Dukungan instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber
pertolongan praktis dan konkrit diantaranya : bantuan langsung dari orang yang
diandalkan seperti materi, tenaga, dan sarana. Manfaat dukungan ini adalah
mendukung pulihnya energi atau stamina dan semangat yang menurun, selain itu
individu merasa bahwa masih ada perhatian atau kepedulian dari lingkungan
terhadap seseorang yang sedang mengalami kesusahan atau penderitaan.
4.
Dukungan emosional
Keluarga sebagai sebuah tempat yang
aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap
emosi. Manfaat dari dukungan ini adalah secara emosional menjamin nilai-nilai
individu (baik pria maupun wanita) akan selalu terjaga kerahasiaannya dari
keingintahuan orang lain. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan
yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, dan
mendengarkan serta didengarkan.
2.1.3
Ciri-ciri Dukungan Keluarga
Setiap
bentuk dukungan keluarga mempunyai ciri-ciri menurut Smet (1994) dalam Setiadi
(2008) antara lain :
1.
Informatif, yaitu bantuan informasi yang
disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi
persoalan-persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan,
ide-ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan dan informasi ini dapat
disampaikan kepada orang lain yang mungkin menghadapai persoalan yang sama atau
hampir sama.
2.
Perhatian emosional, setiap orang pasti
membutuhkan bantuan afeksi dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan
simpatik dan empati, cinta, kepercayaan, dan penghargaan. Dengan demikian
seseorang yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung beban
sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala
keluhannya, bersimpati, dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan
mau membantu memecahkan masalah yang dihadapinya.
3.
Bantuan instrumental, bantuan bentuk ini
bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan
dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya, atau menolong secara langsung
kesulitan yang dihadapi misalnya dengan menyediakan peralatan lengkap dan
memadai bagi penderita, menyediakan obat-obat yang dibutuhkan dan lain-lain.
4.
Bantuan penilaian, yaitu suatu bentuk
penghargaan yang diberikan seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya
dari penderita. Penilaian ini bias positif dan negative yang mana pengaruhnya
sangat berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan dukungan sosial keluarga maka
penilaian yang sangat membantu adalah penilaian yang positif.
Efek dari dukungan sosial terhadap
kesehatan dan kesejahteraan berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik,
keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan
mortalitias, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik, dan
kesehatan emosi. Disamping itu, pengaruh positif dari dukungan sosial keluarga
adalah pada penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang penuh dengan stresss
(Smet, 1994) dalam Setiadi (2008).
Dukungan keluarga yang positif berhubungan dengan kurangnya kecemasan
(Garmenzy dan Rutter, 2003). Pendapat ini didukung oleh Conel (2005) yang menyatakan
bahwa kecemasan akan rendah apabila individu memiliki dukungan sosial yang
baik, dukungan sosial tersebut diperoleh dari keluarga, teman dan atasan.
2.1.4
Fungsi Keluarga Dalam Memberikan
Dukungan Sosial
Setiadi
(2008) mengemukakan bahwa dengan berubahnya pola hidup agraris menjadi
industrialisasi, fungsi keluarga dikembangkan menjadi :
1.
Fungsi biologis
a.
Untuk meneruskan keturunan.
b.
Memelihara dan membesarkan anak.
c.
Memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
d.
Memelihara dan merawat anggota keluarga.
2.
Fungsi psikologis
a.
Memberikan kasih sayang dan rasa aman.
b.
Memberikan perhatian diantara anggota
keluarga.
c.
Membina pendewasaan kepribadian anggota
keluarga.
d.
Memberikan identitas keluarga.
3.
Fungsi sosialisasi
a.
Membina sosialisasi pada anak.
b.
Membentuk norma-norma tingkah laku
sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
c.
Meneruskan nila-nilai budaya keluarga.
4.
Fungsi ekonomi
a.
Mencari sumber-sumber penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
b.
Pengaturan penggunaan penghasilan keluarga
untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
c.
Menabung untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan keluarga dimasa yang akan dating misalnya pendidikan
anak-anak, jaminan hari tua dan sebagainya.
5.
Fungsi pendidikan
a.
Menyekolahkan anak untuk memberikan
pengetahuan, keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan
minat yang dimilikinya.
b.
Mempersiapkan anak untuk kehidupan
dewasa yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa.
c.
Mendidik anak sesuai dengan
tingkat-tingkat perkembangannya.
2.1.5
Sumber Dukungan Keluarga
Menurut
Root & Dooley (1985) dalam Kuncoro (2002) ada 2 sumber dukungan keluarga
yaitu natural dan artificial. Dukungan keluarga yang natural diterima seseorang melalui
interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang
berada disekitarnya misalnya anggota keluarga (anak, istri, suami, kerabat),
teman dekat atau relasi. Dukungan keluarga ini bersifat non formal sedangkan
dukungan keluarga artificial adalah
dukungan keluarga yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang misalnya
dukungan keluarga akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sehingga
sumber dukungan keluarga natural mempunyai berbagai perbedaan jika dibandingkan
dengan dukungan keluarga artificial.
Perbedaan itu terletak pada :
1.
Keberadaan sumber dukungan keluarga
natural bersifat apa adanya tanpa dibuat-buat sehingga mudah diperoleh dan
bersifat spontan.
2.
Sumber dukungan keluarga yang natural
mempunyai kesesuaian dengan nama yang berlaku tentang kapan sesuatu harus
diberikan.
3.
Sumber dukungan keluarga natural berakar
dari hubungan yang telah berakar lama.
4.
Sumber dukungan natural mempunyai
keragaman dalam penyampaian dukungan, mulai dari pemberian barang yang nyata
hanya sekedar menemui seseorang dengan menyampaikan salam.
5.
Sumber dukungan keluarga natural
terbebas dari beban dan label psikologis.
2.1.6
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dukungan
Keluarga
Menurut
Purnawan (2008) dalam Setiadi (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan
keluarga adalah :
1.
Faktor internal
a. Tahap
perkembangan
Artinya dukungan
keluarga dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini adalah pertumbuhan dan
perkembangan, dengan demikian setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman
dan respon terhadap perubahan kesehatan berbeda-beda.
b. Pendidikan
atau tingkat pengetahuan
Keyakinan
seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh variabel intelektual yang
terdiri dari pengetahuan, latar belakang pendidikan, dan pengalaman masa lalu.
Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk kemampuan
untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan
pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan dirinya.
c. Faktor
emosional
Faktor emosional
juga mempengaruhi keyakinan terhadap adanya dukungan dan cara melaksanakannya.
Seseorang yang mengalami respon stress dalam perubahan hidupnya cenderung berespon
terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara menghawatirkan
bahwa penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara
umum terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respon emosional yang kecil
selama ia sakit. Seorang individu yang tidak mampu melakukan koping secara
emosional terhadap ancaman penyakit, mungkin ia menyangkal adanya gejala
penyakit pada dirinya dan tidak mau menjalani pengobatan.
d. Spiritual
Aspek spiritual
dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya, menyangkut
nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman, dan
kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.
2. Faktor eksternal
a. Praktik
di keluarga
Cara bagaimana
keluarga memberikan dukungan biasanya mempengaruhi penderita dalam melaksanakan
kesehatannya. Misalnya : klien juga akan melakukan tindakan pencegahan jika
keluarga melakukan hal yang sama.
b. Faktor
sosioekonomi
Faktor sosial
dan psikososial dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit dan mempengaruhi
cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya.
c. Latar
belakang budaya
Latar belakang
budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan individu dalam memberikan
dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi.
2.2 Kecemasan
2.2.1.
Pengertian
Kecemasan
adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan
perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek
yang spesifik. Kecemasan dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara
interpersonal (Stuart, 2006).
Kecemasan
merupakan respon emosional terhadap penilaian individu yang subjektif, yang
dipengaruhi alam bawah sadar dan tidak diketahui secara khusus penyebabnya (Dalami
dkk, 2009).
2.2.2
Penyebab Kecemasan
1.
Faktor predisposisi
Stuart (2006), mengemukakan bahwa
berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal kecemasan :
a. Dalam
pandangan psikoanalitik, kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara
dua elemen kepribadian id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang,
sedangkan superego mencerminkan hati
nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego atau aku, berfungsi menengahi
tuntutan dari dua elemen yang bertentangan,dan fungsi kecemasan adalah
mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
b. Menurut
pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak
adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan
dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan
kelemahan spesifik. Orang dengan harga diri rendah terutama mudah mengalami
perkembangan kecemasan yang berat.
c. Menurut
pandangan perilaku kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu
yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Pakar perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan untuk belajar
berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan. Pakar tentang
pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa dalam kehidupan dininya
dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan lebih sering menunjukkan kecemasan
pada kehidupan selanjutnya.
d. Kajian
keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui
dalam suatu keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan kecemasan dan antara
gangguan kecemasan dengan depresi.
e. Kajian
biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin
membantu mengatur kecemasan. Penghambat asam
aminobutirik-gamma neroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama
dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan, sebagaimana halnya
dengan endorphin. Selain itu, telah
dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai
predisposisi terhadap kecemasan. Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan
fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stresssor.
2. Stresssor
pencetus
Stresssor pencetus mungkin berasal dari
sumber internal atau eksternal. Stresssor pencetus dapat dikelompokkan dalam
dua kategori :
a. Ancaman
terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang
atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
b. Ancaman
terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan
fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.
3. Sumber
koping
Individu dapat mengatasi stress dan kecemasan
dengan menggerakkan sumber koping di lingkungan. Sumber koping tersebut sebagai
modal ekonomik, kemampuan penyelesaian masalah, dukungan sosial, dan keyakinan
budaya dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress
dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
4. Mekanisme
koping
Ketika mengalami kecemasan, individu
menggunakan berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya, dan
ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif merupakan penyebab utama
terjadinya perilaku patologis. Pola yang cenderung digunakan seseorang untuk
mengatasi kecemasan ringan cenderung tetap dominan ketika kecemasan menghebat. Kecemasan
tingkat ringan sering ditanggulangi tanpa pemikiran yang serius. Tingkat kecemasan
sedang dan berat menimbulkan dua jenis mekanisme koping :
a. Reaksi
yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari, dan berorientasi pada
tindakan untuk memenuhi secara realistik tuntutan situasi stress.
1) Perilaku
menyerang digunakan untuk mengubah atau mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan.
2) Perilaku
menarik diri digunakan baik secara fisik maupun psikolgik untuk memindahkan
seseorang dari sumber stress.
3) Perilaku
kompromi digunakan untuk mengubah cara seseorang mengoperasikan, mengganti
tujuan, atau mengorbankan aspek kebutuhan personal seseorang.
b. Mekanisme
pertahanan ego membantu mengatasi kecemasan
ringan dan sedang, tetapi jika berlangsung pada tingkat tidak sadar akan
melibatkan penipuan diri dan distorsi realitas, maka mekanisme ini dapat
merupkan respon maladaptif terhadap stress.
Sedangkan
menurut
Cendrawati (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah keadaan
pribadi individunya, pengalaman yang tidak menyenangkan, konflik serta
lingkungan dan kehilangan orang dekat. Smet (1994) dalam Setiadi (2008) menjelaskan
bahwa faktor pribadi tergolong di dalamnya adalah kondisi yang ada dalam diri
individu, diantaranya tingkat pendidikan, usia dan jenis kelamin juga
mempengaruhi reaksi seseorang terhadap tekanan.
2.2.3
Tingkat Kecemasan
Menurut
Stuart (2006), tingkat kecemasan sebagai berikut :
1. Kecemasan
ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, kecemasan ini
menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya.
Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta
kreativitas.
2. Kecemasan
sedang memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain. Kecemasan ini mempersempit lapang persepsi individu.
Dengan demikian, individu mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat
berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.
3. Kecemasan
berat sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu cenderung berfokus
pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain.
Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut
memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.
4. Tingkat
panik dari kecemasaan berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Hal
yang rinci terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali,
individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan
arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan
aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain.
Persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat
kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika berlangsung terus dalam
waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan kematian.
Rentang respon kecemasan
Respon
adaptif Respon
maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
Gambar
2.1 Rentang respon kecemasan
2.2.4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Kecemasan
Menurut
Stuart (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan antara lain :
1. Potensial
stresssor
Stresssor
psikososial merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan
dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi.
2. Maturitas
Individu
yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar mengalami gangguan akibat stresss
karena individu yang majur mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadap stresss.
3. Tingkat
pendidikan dan status ekonomi
Tingkat
pendidikan dan status ekonomi yang rendah pada seseorang akan mengakibatkan
orang itu mudah mengalami stresss.
4. Keadaan
fisik
Seseorang
yang mengalami gangguan fisik seperti cedera, operasi akan mudah mengalami
kelelahan fisik sehingga lebih mudah mengalami stresss.
5. Tipe
kepribadian
Orang
yang berkepribadian A lebih mudah mengalami gangguan akibat stresss daripada
orang yang berkepribadian B.
6. Sosial
budaya
Seseorang
yang mempunyai falsafah hidup yang jelas dan keyakinan agama yang kuat umumnya
lebih sukar mengalami stresss.
7. Umur
Seseorang
yang berumur lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan akibat stresss
daripada seseorang yang lebih tua.
8. Lingkungan
Seseorang
yang berada di lingkungan asing ternyata lebih mudah mengalami stresss.
9. Jenis
kelamin
Stresss
sering dialami pada wanita daripada pria dikarenakan wanita mempunyai
kepribadian yang labil dan immature, juga adanya peran hormon yang mempengaruhi
kondisi emosi sehingga mudah meledak, mudah cemas, dan curiga.
2.2.5
Manifestasi Kecemasan
Menurut
Stuart (2006), manifestasi cemas dapat meliputi respon fisiologi, kognitif,
tingkah laku dan afektif.
1. Respon
fisiologi
Respon
fisiologis terhadap stresssor merupakan mekanisme protektif dan adaptif untuk
memelihara keseimbangan homeostasis dalam tubuh. Karena mengakibatkan
peningkatan fungsi organ secara umum (Stuart, 2006). Seperti pada sistem organ
pada tabel di bawah ini :
Tabel
2.1 Respon fisiologis tubuh terhadap kecemasan
Sistem tubuh
|
Respon
|
Kardiovaskular
|
Palpitasi
Jantung berdebar
Tekanan darah meninggi
Rasa mau pingsan
Tekanan darah menurun
Denyut nadi menurun
|
Pernapasan
|
Napas cepat
Napas pendek
Tekanan pada dada
Napas dangkal
Pembengkakan
pada tenggorok
Sensasi tercekik
Terengah-engah
|
Neuromuskular
|
Refleks meningkat
Reaksi kejutan
Mata berkedip-kedip
Insomnia
Tremor
Rigiditas
Gelisah
Wajah tegang
Kelemahan umum
Kaki goyah
Gerakan yang janggal
|
Gastrointestinal
|
Kehilangan nafsu makan
Menolak makan
Rasa
tidak nyaman pada abdomen
Mual
Rasa terbakar pada jantung
Diare
|
Traktus urinarius
|
Tidak dapat menahan kencing
Sering berkemih
|
Kulit
|
Wajah kemerahan
Berkeringat setempat (telapak
tangan)
Gatal
Rasa panas dan dingin pada
kulit
Wajah pucat
Berkeringat seluruh tubuh
|
(Sumber : Stuart, 2006)
Tabel
2.2 Respon perilaku, kognitif, dan
afektif terhadap kecemasan
Sistem
|
Respon
|
Perilaku
|
Gelisah
Ketegangan fisik
Tremor
Gugup
Bicara cepat
Kurang koordinasi
Cenderung mendapat cedera
Menarik diri dari hubungan
interpersonal
Menghalangi
Melarikan diri dari masalah
Menghindar dari masalah
Menghindar
Hiperventilasi
|
Kognitif
|
Perhatian terganggu
Konsentrasi buruk
Pelupa
Salah dalam memberikan
penilaian
Preokupasi
Hambatan berfikir
Bidang persepsi menurun
Bingung
Kreativitas menurun
Produktivitas menurun
Bingung
Sangat waspada
Kesadaran diri meningkat
Kehilangan objektivitas
Takut kehilangan kontrol
Takut pada gambaran visual
Takut cedera atau kematian
|
Afektif
|
Mudah terganggu
Tidak sabar
Gelisah
Tegang
Nervus
Ketakutan
Alarm
Teror
Gugup
Gelisah
|
(Sumber : Stuart, 2006)
2.3
Pre
Operasi
2.3.1. Pengertian
Fase pre operasi dimulai ketika
keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke
meja operasi (Smeltzer & Bare, 2001).
2.3.2. Indikasi
dan Klasifikasi Pembedahan
Menurut Smeltzer & Bare (2001),
pembedahan mungkin dilakukan untuk berbagai alasan. Alasan tersebut mungkin
diagnostik, seperti ketika dilakukan biopsi atau laparatomi eksplorasi; dapat
juga kuratif, seperti ketika mengeksisi massa tumor atau mengangkat apendiks
yang mengalami inflamasi; kemungkinan juga reparative, seperti ketika harus
memperbaiki luka multiple; mungkin juga rekonstruktif atau kosmetik, seperti
ketika melakukan mammoplasti atau perbaikan wajah; atau mungkin paliatif,
seperti ketika harus menghilangkan nyeri atau memperbaiki masalah, sebagai
contoh, ketika selang gastrostomi dipasang untuk mengkompensasi terhadap
ketidakmampuan untuk menelan makan.
Pembedahan juga dapat
diklasifikasikan sesuai dengan tingkat urgensinya, dengan penggunaan
istilah-istilah kedaruratan, urgen, diperlukan, elektif, dan pilihan.
Istilah-istilah ini dapat disajikan pada tabel
2.3, beserta contoh-contoh dari jenis pembedahan yang terlibat.
Tabel 2.3 Kategori pembedahan didasarkan pada
urgensinya
No
|
Klasifikasi
|
Indikasi
|
Contoh
|
1
|
Kedaruratan
(pasien membutuhkan perhatian segera, gangguan mungkin mengancam jiwa)
|
Tanpa
ditunda
|
Perdarahan
hebat
Obstruksi
kandng kemih atau usus
Fraktur
tulang tengkorak
Luka
tembak atau tusuk
Luka
bakar sangat luas
|
2
|
Urgen
(pasien membutuhkan perhatian segera)
|
Dalam
24-30 jam
|
Infeksi
kandung kemih akut
Batu
ginjal atau batu pada uretra
|
3
|
Diperlukan
(pasien harus menjalani pembedahan)
|
Direncanakan
dalam beberapa minggu atau bulan
|
Hiperplasia
prostat tanpa obstruksi kandung kemih
Gangguan
tiroid
Katarak
|
4
|
Elektif
(pasien harus dioperasi ketika diperlukan)
|
Tidak
dilakukan pembedahan, tidak terlalu membahayakan
|
Perbaikan
eskar
Hernia
sederhana
Perbaikan
vaginal
|
5
|
Pilihan
(keputusan terletak pada pasien)
|
Pilihan
pribadi
|
Bedah
kosmetik
|
(sumber
: Smeltzer dan Bare, 2001).
2.3.3. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kecemasan pada Pasien Pre Operasi.
Menurut Saharon, et.all (2000), faktor-faktor
yang mempengaruhi kecemasan pada pasien pre operasi antara lain :
1. Nyeri
dan ketidaknyamanan (pain and discomfort)
Suatu yang umum dan biasa terjadi
pada pasien pre operasi akibat pembedahan. Perawat bertugas memberikan
informasi dan meyakinkan kepada pasien bahwa pembedahan tidak akan dilakukan
tanpa diberikan anastesi terlebih dahulu. Pada pembedahan akan timbul reaksi
nyeri pada daerah luka dan pasien merasa takut untuk melakukan gerakan tubuh
atau latihan ringan akibat nyeri pada daerah perlukaan. Faktor tersebut akan
menimbulkan cemas pada pasien pre operasi.
2. Ketidaktahuan
(unknow)
Cemas pada hal-hal yang belum
diketahui sebelumnya adalah suatu hal yang umum terjadi. Ini disebabkan karena
kurangnya informasi tentang pembedahan.
3. Kerusakan
atau kecacatan (mutilation)
Cemas akan terjadi kerusakan atau
perubahan bentuk tubuh merupakan salah satu faktor bukan hanya ketika dilakukan
amputasi tetapi juga pada operasi-operasi kecil. Hal ini sangat dirasakan oleh
pasien sebagai suatu yang sangat mengganggu body
image.
4. Kematian
(death)
Cemas akan kematian disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu : ketika pasien mengetahui bahwa operasi yang akan
dilakukan akan mempunyai resiko yang cukup besar pada tubuh sehingga akan
menyebabkan kematian.
5. Anestesi
(anesthesia)
Pasien akan mempersepsikan bahwa
setelah dibius pasien tidak akan sadar, tidur terlalu lama dan tidak akan
bangun kembali. Pasien mengkhawatirkan efek samping dari pembiusan seperti
kerusakan pada otak, paralisis, atau kehilangan kontrol ketika dalam keadaan
tidak sadar.
2.4.
Apendisitis
2.4.1. Pengertian
Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil
panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup
ileosekal. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke
dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks
cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi atau disebut
apendisitis (Smeltzer & Bare, 2001).
2.4.2. Epidemiologi
Setiap bagian dari saluran gastrointestinal bawah rentan
terhadap inflamasi akut yang disebabkan oleh infeksi akibat bakteri, virus,
atau jamur. Dalam hal ini adalah apendisitis, kondisi ini dapat menimbulkan
peritonitis, proses inflamasi yang juga dapat diakibatkan karena bedah abdomen.
Apendisitis, penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah dari
rongga abdomen, adalah penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.
Kira-kira 7% dari populasi akan mengalami apendisitis pada waktu yang bersamaan
pada hidup mereka, pria lebih sering dipengaruhi daripada wanita, dan remaja
lebih sering daripada orang dewasa. Meskipun ini dapat terjadi pada usia berapa
pun, apendisitis paling sering terjadi antara usia 10-30 tahun (Smeltzer &
Bare, 2001).
2.4.3. Etiologi
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai
akibat terlipat atau tersumbat, kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari
feses), tumor, atau benda asing (Smeltzer & Bare, 2001).
2.4.4. Patofisiologi
Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal,
menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam
beberapa jam, terlokalisasi di kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya,
apendiks yang terinflamasi berisi pus (Smeltzer & Bare, 2001).
2.4.5. Manifestasi
Klinis
Smeltzer & Bare (2001), mengemukakan manifestasi
klinis dari apendisitis adalah nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai
oleh demam ringan, mual, muntah, dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal
pada titik McBurney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas (hasil atau
intensifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan) mungkin dijumpai. Derajat
nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak
tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar
di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal; bila
ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada
pemeriksaan rectal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat
dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus
kanan dapat terjadi.
Tanda rovsing
dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah. Apabila
apendiks telah ruptur, nyeri menjadi lebih menyebar; distensi abdomen terjadi
akibat ileus paralitik, dan kondisi pasien memburuk (Smeltzer & Bare, 2001).
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis
dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan,
menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak
mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada
apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari
bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda
(Smeltzer & Bare, 2001).
2.4.6. Evaluasi
Diagnostik
Diagnosa didasarkan pada
pemerikasaan fisik lengkap dan tes laboratorium dan sinar-x. hitung darah
lengkap dilakukan dan akan menunjukkan penigkatan jumlah sel darah putih.
Jumlah leukosit mungkin lebih besar dari 10.000/mm3 dan pemeriksaan ultrasound dapat menunjukkan densitas
kuadran kanan bawah atau kadar aliran udara terlokalisasi (Smeltzer & Bare,
2001).
2.4.7. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila
diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberkan sampai
pembedahan dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Apendiktomi (pembedahan untuk
mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko
perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan di bawah anestesi umum atau spinal
dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode
terbaru yang sangat efektif (Smeltzer & Bare, 2001).
2.4.8. Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah
perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses.
Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil
dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala
mencakup demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, penampilan
toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer & Bare,
2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar