Sabtu, 05 Januari 2013

KTI Kecemasan BAB 2



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.       Dukungan Keluarga
2.1.1.      Pengertian
Dukungan sosial keluarga adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai, dan mencintainya (Cohen & Syme, 1996) dalam Setiadi (2008).
Dukungan sosial keluarga adalah sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosial (Friedman, 1998) dalam Setiadi (2008).
Dalam semua tahap, dukungan sosial keluarga menjadikan keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sehingga akan meningkatkan kesehatan dan adaptasi mereka dalam kehidupan (Setiadi, 2008).
Studi-studi tentang dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sosial sebagai koping keluarga, baik dukungan-dukungan yang bersifat eksternal maupun internal terbukti sangat bermanfaat. Dukungan sosial keluarga eksternal antara lain sahabat, pekerjaan, tetangga, sekolah, keluarga besar, kelompok sosial, kelompok rekreasi, tempat ibadah, praktisi kesehatan. Dukungan sosial keluarga internal antara lain dukungan dari suami atau istri, dari saudara kandung, atau dukungan dari anak (Friedman, 1998) dalam Setiadi (2008).
2.1.2        Jenis Dukungan Keluarga
Friedman (1998) dalam Setiadi (2008) menjelaskan bahwa keluarga memiliki 4 jenis dukungan, yaitu :
1.      Dukungan informasional
           Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan disseminator (penyebar informasi) tentang dunia yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stresssor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasihat, usulan, saran, petunjuk, dan pemberian informasi.
2.      Dukungan penilaian (appraisal)
           Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing, dan menengahi masalah serta sebagai sumber validator identitas anggota keluarga, diantaranya : memberikan support, pengakuan, penghargaan dan perhatian.
 3.      Dukungan instrumental
           Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit diantaranya : bantuan langsung dari orang yang diandalkan seperti materi, tenaga, dan sarana. Manfaat dukungan ini adalah mendukung pulihnya energi atau stamina dan semangat yang menurun, selain itu individu merasa bahwa masih ada perhatian atau kepedulian dari lingkungan terhadap seseorang yang sedang mengalami kesusahan atau penderitaan.
4.      Dukungan emosional
           Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Manfaat dari dukungan ini adalah secara emosional menjamin nilai-nilai individu (baik pria maupun wanita) akan selalu terjaga kerahasiaannya dari keingintahuan orang lain. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, dan mendengarkan serta didengarkan.
2.1.3        Ciri-ciri Dukungan Keluarga
Setiap bentuk dukungan keluarga mempunyai ciri-ciri menurut Smet (1994) dalam Setiadi (2008) antara lain :
1.       Informatif, yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan dan informasi ini dapat disampaikan kepada orang lain yang mungkin menghadapai persoalan yang sama atau hampir sama.
2.       Perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan simpatik dan empati, cinta, kepercayaan, dan penghargaan. Dengan demikian seseorang yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya, bersimpati, dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan mau membantu memecahkan masalah yang dihadapinya.
3.       Bantuan instrumental, bantuan bentuk ini bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya, atau menolong secara langsung kesulitan yang dihadapi misalnya dengan menyediakan peralatan lengkap dan memadai bagi penderita, menyediakan obat-obat yang dibutuhkan dan lain-lain.
4.       Bantuan penilaian, yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita. Penilaian ini bias positif dan negative yang mana pengaruhnya sangat berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan dukungan sosial keluarga maka penilaian yang sangat membantu adalah penilaian yang positif.
Efek dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan mortalitias, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi. Disamping itu, pengaruh positif dari dukungan sosial keluarga adalah pada penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang penuh dengan stresss (Smet, 1994) dalam Setiadi (2008).
Dukungan keluarga yang  positif  berhubungan dengan kurangnya kecemasan (Garmenzy dan Rutter, 2003). Pendapat ini didukung oleh Conel (2005) yang menyatakan bahwa kecemasan akan rendah apabila individu memiliki dukungan sosial yang baik, dukungan sosial tersebut diperoleh dari keluarga, teman dan atasan.
2.1.4        Fungsi Keluarga Dalam Memberikan Dukungan Sosial
Setiadi (2008) mengemukakan bahwa dengan berubahnya pola hidup agraris menjadi industrialisasi, fungsi keluarga dikembangkan menjadi :
1.    Fungsi biologis
a.       Untuk meneruskan keturunan.
b.      Memelihara dan membesarkan anak.
c.       Memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
d.      Memelihara dan merawat anggota keluarga.
2.    Fungsi psikologis
a.       Memberikan kasih sayang dan rasa aman.
b.      Memberikan perhatian diantara anggota keluarga.
c.       Membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga.
d.      Memberikan identitas keluarga.
3.    Fungsi sosialisasi
a.       Membina sosialisasi pada anak.
b.      Membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
c.       Meneruskan nila-nilai budaya keluarga.
4.    Fungsi ekonomi
a.       Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
b.      Pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
c.       Menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga dimasa yang akan dating misalnya pendidikan anak-anak, jaminan hari tua dan sebagainya.
5.    Fungsi pendidikan
a.       Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya.
b.      Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa.
c.       Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya.
2.1.5        Sumber Dukungan Keluarga
Menurut Root & Dooley (1985) dalam Kuncoro (2002) ada 2 sumber dukungan keluarga yaitu natural dan artificial. Dukungan keluarga yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada disekitarnya misalnya anggota keluarga (anak, istri, suami, kerabat), teman dekat atau relasi. Dukungan keluarga ini bersifat non formal sedangkan dukungan keluarga artificial adalah dukungan keluarga yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang misalnya dukungan keluarga akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sehingga sumber dukungan keluarga natural mempunyai berbagai perbedaan jika dibandingkan dengan dukungan keluarga artificial. Perbedaan itu terletak pada :
1.      Keberadaan sumber dukungan keluarga natural bersifat apa adanya tanpa dibuat-buat sehingga mudah diperoleh dan bersifat spontan.
2.      Sumber dukungan keluarga yang natural mempunyai kesesuaian dengan nama yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan.
3.      Sumber dukungan keluarga natural berakar dari hubungan yang telah berakar lama.
4.      Sumber dukungan natural mempunyai keragaman dalam penyampaian dukungan, mulai dari pemberian barang yang nyata hanya sekedar menemui seseorang dengan menyampaikan salam.
5.      Sumber dukungan keluarga natural terbebas dari beban dan label psikologis.
2.1.6        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga
Menurut Purnawan (2008) dalam Setiadi (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga adalah :
1.   Faktor internal
a.       Tahap perkembangan
Artinya dukungan keluarga dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan berbeda-beda.
b.      Pendidikan atau tingkat pengetahuan
Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang pendidikan, dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan dirinya.
c.       Faktor emosional
Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap adanya dukungan dan cara melaksanakannya. Seseorang yang mengalami respon stress dalam perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara menghawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respon emosional yang kecil selama ia sakit. Seorang individu yang tidak mampu melakukan koping secara emosional terhadap ancaman penyakit, mungkin ia menyangkal adanya gejala penyakit pada dirinya dan tidak mau menjalani pengobatan.
d.      Spiritual
Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya, menyangkut nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman, dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.
2.   Faktor  eksternal
a.       Praktik di keluarga
Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya mempengaruhi penderita dalam melaksanakan kesehatannya. Misalnya : klien juga akan melakukan tindakan pencegahan jika keluarga melakukan hal yang sama.
b.      Faktor sosioekonomi
Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya.
c.       Latar belakang budaya
Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan individu dalam memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi.

2.2      Kecemasan
2.2.1.      Pengertian
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kecemasan dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart, 2006).
Kecemasan merupakan respon emosional terhadap penilaian individu yang subjektif, yang dipengaruhi alam bawah sadar dan tidak diketahui secara khusus penyebabnya (Dalami dkk, 2009).
2.2.2        Penyebab Kecemasan
1.      Faktor predisposisi
        Stuart (2006), mengemukakan bahwa berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal kecemasan :
a.       Dalam pandangan psikoanalitik, kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego atau aku, berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan,dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
b.      Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik. Orang dengan harga diri rendah terutama mudah mengalami perkembangan kecemasan yang berat.
c.       Menurut pandangan perilaku kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan. Pakar tentang pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa dalam kehidupan dininya dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan lebih sering menunjukkan kecemasan pada kehidupan selanjutnya.
d.      Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan kecemasan dan antara gangguan kecemasan dengan depresi.
e.       Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu mengatur kecemasan. Penghambat asam aminobutirik-gamma neroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan, sebagaimana halnya dengan endorphin. Selain itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap kecemasan. Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stresssor.
2.      Stresssor pencetus
        Stresssor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau eksternal. Stresssor pencetus dapat dikelompokkan dalam dua kategori :
a.       Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
b.      Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.
3.      Sumber koping
        Individu dapat mengatasi stress dan kecemasan dengan menggerakkan sumber koping di lingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal ekonomik, kemampuan penyelesaian masalah, dukungan sosial, dan keyakinan budaya dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
4.      Mekanisme koping
        Ketika mengalami kecemasan, individu menggunakan berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya, dan ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Pola yang cenderung digunakan seseorang untuk mengatasi kecemasan ringan cenderung tetap dominan ketika kecemasan menghebat. Kecemasan tingkat ringan sering ditanggulangi tanpa pemikiran yang serius. Tingkat kecemasan sedang dan berat menimbulkan dua jenis mekanisme koping :
a.       Reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari, dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realistik tuntutan situasi stress.
1)      Perilaku menyerang digunakan untuk mengubah atau mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan.
2)      Perilaku menarik diri digunakan baik secara fisik maupun psikolgik untuk memindahkan seseorang dari sumber stress.
3)      Perilaku kompromi digunakan untuk mengubah cara seseorang mengoperasikan, mengganti tujuan, atau mengorbankan aspek kebutuhan personal seseorang.
b.      Mekanisme pertahanan ego membantu mengatasi kecemasan ringan dan sedang, tetapi jika berlangsung pada tingkat tidak sadar akan melibatkan penipuan diri dan distorsi realitas, maka mekanisme ini dapat merupkan respon maladaptif terhadap stress.
Sedangkan menurut Cendrawati (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah keadaan pribadi individunya, pengalaman yang tidak menyenangkan, konflik serta lingkungan dan kehilangan orang dekat. Smet (1994) dalam Setiadi (2008) menjelaskan bahwa faktor pribadi tergolong di dalamnya adalah kondisi yang ada dalam diri individu, diantaranya tingkat pendidikan, usia dan jenis kelamin juga mempengaruhi reaksi seseorang terhadap tekanan.

2.2.3        Tingkat Kecemasan
Menurut Stuart (2006), tingkat kecemasan sebagai berikut :
1.      Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, kecemasan ini menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.
2.      Kecemasan sedang memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Kecemasan ini mempersempit lapang persepsi individu. Dengan demikian, individu mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.
3.      Kecemasan berat sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.
4.      Tingkat panik dari kecemasaan berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Hal yang rinci terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan kematian.
Rentang respon kecemasan

Respon adaptif                                           Respon maladaptif
                       Antisipasi     Ringan     Sedang         Berat        Panik
Gambar 2.1   Rentang respon kecemasan

2.2.4        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan
Menurut Stuart (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan antara lain :
1.      Potensial stresssor
Stresssor psikososial merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi.
2.      Maturitas
Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar mengalami gangguan akibat stresss karena individu yang majur mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadap stresss.
3.      Tingkat pendidikan dan status ekonomi
Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah pada seseorang akan mengakibatkan orang itu mudah mengalami stresss.
4.      Keadaan fisik
Seseorang yang mengalami gangguan fisik seperti cedera, operasi akan mudah mengalami kelelahan fisik sehingga lebih mudah mengalami stresss.
5.      Tipe kepribadian
Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami gangguan akibat stresss daripada orang yang berkepribadian B.
6.      Sosial budaya
Seseorang yang mempunyai falsafah hidup yang jelas dan keyakinan agama yang kuat umumnya lebih sukar mengalami stresss.
7.      Umur
Seseorang yang berumur lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan akibat stresss daripada seseorang yang lebih tua.
8.      Lingkungan
Seseorang yang berada di lingkungan asing ternyata lebih mudah mengalami stresss.
9.      Jenis kelamin
Stresss sering dialami pada wanita daripada pria dikarenakan wanita mempunyai kepribadian yang labil dan immature, juga adanya peran hormon yang mempengaruhi kondisi emosi sehingga mudah meledak, mudah cemas, dan curiga.
2.2.5        Manifestasi Kecemasan
Menurut Stuart (2006), manifestasi cemas dapat meliputi respon fisiologi, kognitif, tingkah laku dan afektif.
1.      Respon fisiologi
Respon fisiologis terhadap stresssor merupakan mekanisme protektif dan adaptif untuk memelihara keseimbangan homeostasis dalam tubuh. Karena mengakibatkan peningkatan fungsi organ secara umum (Stuart, 2006). Seperti pada sistem organ pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.1  Respon fisiologis tubuh terhadap kecemasan
Sistem tubuh
Respon
Kardiovaskular
Palpitasi
Jantung berdebar
Tekanan darah meninggi
Rasa mau pingsan
Tekanan darah menurun
Denyut nadi menurun
Pernapasan
Napas cepat
Napas pendek
Tekanan pada dada
Napas dangkal
Pembengkakan pada tenggorok
Sensasi tercekik
Terengah-engah
Neuromuskular
Refleks meningkat
Reaksi kejutan
Mata berkedip-kedip
Insomnia
Tremor
Rigiditas
Gelisah
Wajah tegang
Kelemahan umum
Kaki goyah
Gerakan yang janggal
Gastrointestinal
Kehilangan nafsu makan
Menolak makan
Rasa tidak nyaman pada abdomen
Mual
Rasa terbakar pada jantung
Diare
Traktus urinarius
Tidak dapat menahan kencing
Sering berkemih
Kulit
Wajah kemerahan
Berkeringat setempat (telapak tangan)
Gatal
Rasa panas dan dingin pada kulit
Wajah pucat
Berkeringat seluruh tubuh
                    (Sumber : Stuart, 2006)
Tabel 2.2  Respon perilaku, kognitif, dan afektif terhadap kecemasan
Sistem
Respon
Perilaku
Gelisah
Ketegangan fisik
Tremor
Gugup
Bicara cepat
Kurang koordinasi
Cenderung mendapat cedera
Menarik diri dari hubungan interpersonal
Menghalangi
Melarikan diri dari masalah
Menghindar dari masalah
Menghindar
Hiperventilasi

Kognitif
Perhatian terganggu
Konsentrasi buruk
Pelupa
Salah dalam memberikan penilaian
Preokupasi
Hambatan berfikir
Bidang persepsi menurun
Bingung
Kreativitas menurun
Produktivitas menurun
Bingung
Sangat waspada
Kesadaran diri meningkat
Kehilangan objektivitas
Takut kehilangan kontrol
Takut pada gambaran visual
Takut cedera atau kematian
Afektif
Mudah terganggu
Tidak sabar
Gelisah
Tegang
Nervus
Ketakutan
Alarm
Teror
Gugup
Gelisah
            (Sumber : Stuart, 2006)

2.3      Pre Operasi
2.3.1.      Pengertian
Fase pre operasi dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi (Smeltzer & Bare, 2001).
2.3.2.      Indikasi dan Klasifikasi Pembedahan
Menurut Smeltzer & Bare (2001), pembedahan mungkin dilakukan untuk berbagai alasan. Alasan tersebut mungkin diagnostik, seperti ketika dilakukan biopsi atau laparatomi eksplorasi; dapat juga kuratif, seperti ketika mengeksisi massa tumor atau mengangkat apendiks yang mengalami inflamasi; kemungkinan juga reparative, seperti ketika harus memperbaiki luka multiple; mungkin juga rekonstruktif atau kosmetik, seperti ketika melakukan mammoplasti atau perbaikan wajah; atau mungkin paliatif, seperti ketika harus menghilangkan nyeri atau memperbaiki masalah, sebagai contoh, ketika selang gastrostomi dipasang untuk mengkompensasi terhadap ketidakmampuan untuk menelan makan.
Pembedahan juga dapat diklasifikasikan sesuai dengan tingkat urgensinya, dengan penggunaan istilah-istilah kedaruratan, urgen, diperlukan, elektif, dan pilihan. Istilah-istilah ini dapat disajikan pada tabel  2.3, beserta contoh-contoh dari jenis pembedahan yang terlibat.
Tabel 2.3  Kategori pembedahan didasarkan pada urgensinya
No
Klasifikasi
Indikasi
Contoh
1
Kedaruratan (pasien membutuhkan perhatian segera, gangguan mungkin mengancam jiwa)
Tanpa ditunda
Perdarahan hebat
Obstruksi kandng kemih atau usus
Fraktur tulang tengkorak
Luka tembak atau tusuk
Luka bakar sangat luas
2
Urgen (pasien membutuhkan perhatian segera)
Dalam 24-30 jam
Infeksi kandung kemih akut
Batu ginjal atau batu pada uretra
3
Diperlukan (pasien harus menjalani pembedahan)
Direncanakan dalam beberapa minggu atau bulan
Hiperplasia prostat tanpa obstruksi kandung kemih
Gangguan tiroid
Katarak
4
Elektif (pasien harus dioperasi ketika diperlukan)
Tidak dilakukan pembedahan, tidak terlalu membahayakan
Perbaikan eskar
Hernia sederhana
Perbaikan vaginal
5
Pilihan (keputusan terletak pada pasien)
Pilihan pribadi
Bedah kosmetik
(sumber : Smeltzer dan Bare, 2001).
2.3.3.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan pada Pasien Pre Operasi.
Menurut Saharon, et.all (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pada pasien pre operasi antara lain :
1.      Nyeri dan ketidaknyamanan (pain and discomfort)
Suatu yang umum dan biasa terjadi pada pasien pre operasi akibat pembedahan. Perawat bertugas memberikan informasi dan meyakinkan kepada pasien bahwa pembedahan tidak akan dilakukan tanpa diberikan anastesi terlebih dahulu. Pada pembedahan akan timbul reaksi nyeri pada daerah luka dan pasien merasa takut untuk melakukan gerakan tubuh atau latihan ringan akibat nyeri pada daerah perlukaan. Faktor tersebut akan menimbulkan cemas pada pasien pre operasi.
2.      Ketidaktahuan (unknow)
Cemas pada hal-hal yang belum diketahui sebelumnya adalah suatu hal yang umum terjadi. Ini disebabkan karena kurangnya informasi tentang pembedahan.
3.      Kerusakan atau kecacatan (mutilation)
Cemas akan terjadi kerusakan atau perubahan bentuk tubuh merupakan salah satu faktor bukan hanya ketika dilakukan amputasi tetapi juga pada operasi-operasi kecil. Hal ini sangat dirasakan oleh pasien sebagai suatu yang sangat mengganggu body image.
4.      Kematian (death)
Cemas akan kematian disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : ketika pasien mengetahui bahwa operasi yang akan dilakukan akan mempunyai resiko yang cukup besar pada tubuh sehingga akan menyebabkan kematian.
5.      Anestesi (anesthesia)
Pasien akan mempersepsikan bahwa setelah dibius pasien tidak akan sadar, tidur terlalu lama dan tidak akan bangun kembali. Pasien mengkhawatirkan efek samping dari pembiusan seperti kerusakan pada otak, paralisis, atau kehilangan kontrol ketika dalam keadaan tidak sadar.

2.4.      Apendisitis
2.4.1.      Pengertian
Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi atau disebut apendisitis (Smeltzer & Bare, 2001).
2.4.2.      Epidemiologi
Setiap bagian dari saluran gastrointestinal bawah rentan terhadap inflamasi akut yang disebabkan oleh infeksi akibat bakteri, virus, atau jamur. Dalam hal ini adalah apendisitis, kondisi ini dapat menimbulkan peritonitis, proses inflamasi yang juga dapat diakibatkan karena bedah abdomen. Apendisitis, penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah dari rongga abdomen, adalah penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Kira-kira 7% dari populasi akan mengalami apendisitis pada waktu yang bersamaan pada hidup mereka, pria lebih sering dipengaruhi daripada wanita, dan remaja lebih sering daripada orang dewasa. Meskipun ini dapat terjadi pada usia berapa pun, apendisitis paling sering terjadi antara usia 10-30 tahun (Smeltzer & Bare, 2001).
2.4.3.      Etiologi
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat, kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari feses), tumor, atau benda asing (Smeltzer & Bare, 2001).
2.4.4.      Patofisiologi
Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam, terlokalisasi di kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya, apendiks yang terinflamasi berisi pus (Smeltzer & Bare, 2001).
2.4.5.      Manifestasi Klinis
Smeltzer & Bare (2001), mengemukakan manifestasi klinis dari apendisitis adalah nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah, dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik  McBurney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas (hasil atau intensifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan) mungkin dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rectal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi.
Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi lebih menyebar; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik, dan kondisi pasien memburuk (Smeltzer & Bare, 2001).
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda (Smeltzer & Bare, 2001).
2.4.6.      Evaluasi Diagnostik
Diagnosa didasarkan pada pemerikasaan fisik lengkap dan tes laboratorium dan sinar-x. hitung darah lengkap dilakukan dan akan menunjukkan penigkatan jumlah sel darah putih. Jumlah leukosit mungkin lebih besar dari 10.000/mm3 dan pemeriksaan ultrasound dapat menunjukkan densitas kuadran kanan bawah atau kadar aliran udara terlokalisasi (Smeltzer & Bare, 2001).
2.4.7.      Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberkan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan di bawah anestesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif (Smeltzer & Bare, 2001).
2.4.8.      Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer & Bare, 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar